RSS | FACEBOOK | TWITTER | FORUM
Home » , » Media Survei Dan Bisnis Politik

Media Survei Dan Bisnis Politik

Written By Pena Bojonegoro on Saturday, 19 July 2014 | 19:51


Bojonegoro Post ~ Setelah rezim militer Orde Baru jatuh pada Mei 1998, apa hasil nyata dari gerakan reformasi? Kebebasan pers dan Timor Timur merdeka. Itu jawaban bernada canda di kalangan elit. Getir memang, tapi harus ditelan.

Kebebasan pers dan kemerdekaan Timor Timur memang jadi perbincangan pokok elit hingga menjelang Pemilu 2004.

Saat itu, kehidupan pers sedemikian bebas, sehingga siapa saja di mana saja, dan kapan saja, bisa menerbitkan media. Elit politik jadi korban pertama 'kebuasan' media. Prinsip-prinsip jurnalisme diabaikan, sehingga melalui media orang bisa memaki-maki siapa saja, mulai dari ketua RT hingga presiden.

Perkembangan media tak hanya di lingkungan cetak, tetapi juga radio, televisi, dan internet. Tentu saja perusahaan-perusahaan pers mapan bergerak cepat: Kompas terbit edisi daerah yang lalu menjadi macam-macam Tribun, Jawa Pos bergeliat dengan Radar-Radarnya, sedang muka-muka baru investasi di radio, televisi dan internet.

Dunia media jadinya seperti sekarang ini. Selain muka-muka baru yang kukuh di internet dan radio, muka-muka lama masih menguasai media cetak.

Sementara televisi jadi ajang pertaruhan para politisi dan pengusaha kaya. Mereka menguasai frekuensi milik negara, dan menggunakan seenaknya sendiri, seakan itu harta warisan dari moyangnya. Timor Timur lepas menjadi negeri baru, Timor Leste.

Presiden Habibie dipersalahkan karena membikin kebijakan keliru: buru-buru menggelar referendum. Padahal sebelum kebijakan itu diambil, Habibie selalu mendapat jawaban dari intel dan tentara: rakyat Timor Timur akan memilih tetap bergabung Indonesia.

Habibie jatuh oleh SU-MPR hasil Pemilu 1999. Sentimen bahwa Habibie tunduk pada tekanan asing merasuk ke ulu hati elit politik, membuat mayoritas MPR menolak laporan pertanggungjawabannya. Padahal dalam jangka kurang dari satu setengah tahun, prestasi ekonomi dan politik Habibie luar biasa. Bandingkan dengan masa kekuasaan sepuluh tahun SBY, yang biasa-biasa saja.

Pasca-Pemilu 2004, perbincangan soal buah reformasi bergeser. Sakit hati atas lepasnya Timor Timur menghilang. Tapi soal peran media tetap mengemuka seiring dengan politik pencitraan yang dikembangkan SBY dan Partai Demokrat.

Pada titik inilah para konsultan politik menikmati buah dari perkembangan demokrasi, yang menempatkan pemilu sebagai instrumen utama memilih pemimpin.

Demi merebut kursi presiden dalam Pemilu 2004, SBY dan Demokrat, dengan segala keterbatasannya, memanfaatkan secara maksimal peran konsultan politik. SBY dan Demokrat mulai meniru cara-cara calon presiden dan partai di AS dalam meraih suara. Bahkan pada Pemilu 2009, SBY dan Demokrat menjiplak persis segala hal yang dilakukan oleh Obama dan partainya.

Pada Pemilu 2004 politik pencitraan SBY disokong media dengan sepenuh hati. Dia jadi media darling, sehingga kerja konsultan politik tidak terlalu berat. Sikap media ini tidak lepas dari bentuk perlawanan diam-diam media terhadap arogansi PDIP, Megawati, dan tim kampanyenya. SBY jadi sosok hebat di mata rakyat, sehingga dia jadi pilihan tepat.

Sukses Pemilu 2009 meyakinkan SBY dan Demokrat untuk mengedepankan politik pencitraan. Sikap media memang sudah berubah, tidak sepenuh hati mendukungnya lagi. Namun dengan dana tidak terbatas yang dimilikinya, SBY dan Demokrat membayar semua hal yang disarankan oleh konsultan politik. SBY menang mutlak, Demokrat suaranya naik tiga kali lipat.

Di sinilah survei menjadi kegiatan penting. Awalnya, pada Pemilu 1999 survei dilakukan oleh kelompok independen untuk mengetahui perilaku pemilih dalam mengecek kesiapan pemilu, partisipasi, kepercayaan terhadap partai, dan identifikasi terhadap partai.

Namun dalam perkembangannya hasil survei ini menjadi bahan penting konsultasi politik, sehingga tidak ada konsultan politik yang tidak melakukan survei.

Peran lembaga survei pun berubah pada Pemilu 2004. Meskipun di sana sini mengaku sebagai lembaga survei independen, namun sesungguhnya mereka juga melayani konsultasi politik dengan partai dan calon tertentu. Situasinya menjadi berubah drastis, karena sejak 2005 digelar pilkada di setiap daerah, sehingga survei dan konsultasi politik menjadi bisnis besar.

Kemenangan SBY dan raihan Demokrat pada Pemilu 2004 menjadi materi iklan konsultan politik: jika Anda ingin menang seperti SBY dan Demokrat, Anda harus survei pemilih; selanjutnya mari kita susun strategi pemenangan. Di sinilah posisi lembaga survei independen dan konsultan politik, kabur.

Para konsutan politik tentu saja mengabdi pada partai dan calon yang membayarnya. Mereka bisa saja memanipulasi hasil survei untuk menyenang-nyenangkan kliennya atau untuk mengubah persepsi pemilih: kalau partai A atau calon B menang dalam survei, banyak yang percaya pemilih akan mendukung partai atau calon tersebut.

Bisa saja kita meributkan soal etika survei atau meributkan posisi mereka: lembaga survei independen atau konsultan politik. Banyak pihak usul agar kegiatan survei pemilih diatur dalam undang-undang. Tapi ini takkan menyelesaikan masalah: tak hanya politisi dan pengacara yang pandai menyiasati pasal-pasal, para ahli survei juga bisa.

Sesungguhnya lembaga survei atau konsultan politik tidak bisa berbuat banyak kalau saja media bersikap kritis terhadap produk-produk publikasinya. Mereka selalu diingatkan agar mengkritisi metodologi, periode, pertanyaan survei. Tapi ini saja tidak cukup. Dua hal lain harus ditanyakan media secara kritis: pertama, siapa yang membiayai survei Anda?; kedua, siapa saja partner atau klien Anda?

Tapi daya kritis tersebut tidak punya arti apa-apa, ketika media dikuasai oleh politisi atau pengusaha yang juga bergiat merebut kuasa.
(merdeka,com)
Share this article :
 
Copyright © 2014. Jokorowotlogorejo.com - All Rights Reserved